Beranda | Artikel
al-Hanifiyyah Millah Ibrahim [4]
Rabu, 12 Oktober 2016

Dalam al-Qawa’id al-Arba’, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata :

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwasanya al-Hanifiyyah adalah millah/ajaran Ibrahim yaitu dengan anda beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya.

Itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka untuk mewujudkannya. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah dinamakan sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki suatu ibadah ia menjadi rusak. Sebagaimana halnya hadats yang masuk ke dalam thaharah.

Apabila anda telah mengetahui bahwasanya syirik ketika mencampuri ibadah menyebabkan ia menjadi rusak serta menghapuskan amalan dan pelakunya menjadi penghuni kekal di dalam neraka; maka anda bisa mengetahui bahwasanya perkara terpenting ialah dengan mengenali hal itu dengan baik. Mudah-mudahan Allah membebaskan anda dari perangkap ini; yaitu syirik kepada Allah.

Dimana Allah telah berfirman mengenai hal itu (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 116)

(lihat Transkrip Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 15)

Keterangan :

Setelah menjelaskan pentingnya tauhid, bahwa tauhid merupakan tujuan penciptaan dan tauhid harus bersih dari syirik, beliau pun menjelaskan tentang bahaya dan dampak dari perbuatan syirik kepada Allah. Diantaranya beliau sebutkan bahwa syirik akan merusak ibadah, menghapuskan pahala amalan, dan pelakunya jika mati dalam keadaan belum bertaubat dari dosa syirik akbar maka ia akan kekal dihukum di neraka dan itu artinya dia tidak akan masuk surga.

Perlu juga kita ketahui oleh kita bersama, bahwasanya syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan perlu juga diketahui bahwasanya syirik merupakan kezaliman yang terbesar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (al-Hadid: 25)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mengapa syirik disebut sebagai kezaliman? Karena pada asalnya zalim itu adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan syirik maknanya adalah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya, dan ini adalah sebesar-besar kezaliman. Karena mereka telah meletakkan ibadah pada sesuatu yang bukan berhak menerimanya. Dan mereka menyerahkan ibadah itu kepada yang tidak berhak mendapatkannya. Mereka menyamakan makhluk dengan Sang pencipta. Mereka mensejajarkan sesuatu yang lemah dengan Dzat yang Maha kuat yang tidak terkalahkan oleh sesuatu apapun. Apakah setelah tindakan semacam ini masih ada kezaliman lain yang lebih besar?” (lihat I’anatul Mustafid, 1/77)

Oleh sebab itulah di dalam al-Qur’an Allah sering menyebut perbuatan syirik sebagai bentuk kezaliman. Diantaranya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan janganlah kamu menyeru/beribadah kepada selain Allah sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadamu. Apabila kamu tetap melakukannya maka dengan begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus : 106)

Apa yang dimaksud dengan syirik? Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah menyamakan atau mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang termasuk dalam kekhususan Allah, atau beribadah/berdoa kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh al-Qar’awi, hal. 20)

Sebagaimana sudah disebutkan oleh penulis al-Qawa’id al-Arba’ bahwa syirik merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah; maksudnya apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat darinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’: 48).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besarnya bahasa syirik bagi umat manusia. Oleh sebab itu para rasul yang diutus oleh Allah semuanya selalu memperingatkan dan melarang umatnya dari segala bentuk kemusyrikan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Di dalam ayat ini Allah memberitakan, bahwasanya Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang memerintahkan mereka untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang mereka dari beribadah kepada selain-Nya (lihat al-Jami’ al-Farid, hal. 11)

Thaghut ialah segala hal yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas dalam bentuk sesuatu yang disembah, diikuti, atau ditaati. Demikian intisari keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sebagaimana dinukil dalam ad-Dur an-Nadhidh (hal. 11)

Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘setan’. Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘para dukun yang setan-setan turun kepada mereka’. Imam Malik rahimahullah menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘segala sesembahan selain Allah’ (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 32)

Segala yang disembah selain Allah disebut sebagai ‘thaghut’ baik berupa patung, berhala, kuburan, atau tempat keramat. Akan tetapi apabila orang atau makhluk yang disembah tidak ridha dengan penyembahan itu maka ia tidak dinamakan thaghut. Semacam Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, hamba-hamba yang salih seperti Hasan dan Husain serta para wali Allah, mereka tidak disebut sebagai thaghut. Meskipun demikian penyembahan kepada mereka tetap disebut ibadah kepada thaghut yang dalam hal ini adalah setan; karena sesungguhnya setan itulah yang memerintahkan perbuatan itu (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/36)

Di dalam ayat ini juga terdapat faidah bahwa hakikat ibadah yang harus dilakukan oleh setiap insan -yang hal ini merupakan tujuan hidup mereka- adalah ibadah yang bersih dari syirik -dalam bentuk ibadah kepada selain-Nya apa pun bentuknya- oleh sebab itu amal-amal tidak sah tanpa berlepas diri dari segala penyembahan kepada selain-Nya (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)

Oleh sebab itu dalam merealisasikan tauhid tidak cukup hanya dengan meninggalkan syirik. Akan tetapi harus melakukan sesuatu yang lebih daripada itu, yaitu harus berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah…” (al-Mumtahanah : 4) (lihat Maqashid Kitab at-Tauhid, hal. 6 karya Dr. ‘Isa bin Abdillah as-Sa’di hafizhahullah)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam tulisan beliau yang lain mengatakan : Bahwasanya barangsiapa taat kepada rasul dan mengesakan Allah tidak boleh baginya memberikan loyalitas kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya walaupun dia itu adalah karib kerabat yang terdekat dengannya. Dalilnya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak akan kamu dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau sanak famili mereka. Mereka itulah yang Allah tetapkan pada hati mereka keimanan dan Allah perkuat mereka dengan ruh/pertolongan dari-Nya. Dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah bahwa golongan Allah itulah yang pasti akan beruntung.” (al-Mujadilah : 22) (lihat risalah Tsalatsatul Ushul)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/al-hanifiyyah-millah-ibrahim-4/